C. PERKEMBANGAN ILMU
Dalam sejarah perkembangan manusia, manusia purba telah menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang memungkinkan untuk mengerti dunia, diantaranya :
1. Bangsa Mesir, dimana banjir Sungai Nil ikut menyebabkan berkembangnya sistem almanak, geometri dan Bangsa kegiatan survey.
2. Bangsa Babylonia dan Hindu.
3. Bangsa Yunani yang menyumbangkan perkembangan ilmu dan astronomi, kedokteran dan sistem klasifikasi Aristoteles, juga silogisme yang menjadi dasar penjabaran secara deduktif pengalaman-pengalaman manusia. Bangsa Yunani dianggap sebagai perintis di dalam mendekati perkembangan ilmu secara sistematis, walaupun terlepas dari tendensi mereka untuk menitikberatkan teori dan sering melupakan pengalaman empiris dan kurang memperhatikan percobaan sebagai sumber bukti-bukti keilmuan.
Metode Induktif
Pelopor cara berfikir metode Induktif dimulai oleh Francis bacon, yang mana terdapat tendensi diantara aparat ahli filsafat untuk mula-mula setuju pada suatu kesimpulan dan baru dimulai usaha untuk mengumpulkan berbagai fakta yang mendukung kesimpulan. Bacon merasa yakin bahwa logika tidaklah cukup untuk menemukan kebenaran, karena “kepelikan alam jauh lebih besar daripada kepelikan argumen”. Akan tetapi metode bacon ini dianggap memboroskan waktu dan tidak efektif, karena jika pemikiran deduktif yang penggunaannya secara berlebihan menyebabkan dunia keilmuan mengalami kemacetan.
Pendekatan Induktif-Deduktif Modern
Pendekatan InduktifiDeduktif modern dipelopori oleh Charles Darwin yang menggabungkan deduksi Aristoteles dengan metode, dimana artinya seorang mempergunakan metode induksi dalam menghubungkan antara pengamatan dengan hipotesis, kemudian secara deduktif hipotesis ini dihubungkan dengan pengetahuan yang ada untuk melihat kecocokan dan implikasi
PERKEMBANGAN ILMU
Animisme
Perkembangan kehidupan masa animisme dapat dilihat dari gejala-gejala yang ditemui dalam menghadapi masalah-masalah yang ditimbulkan, seperti manusia primitif ketika mendengar petir dan melihat kilat diikuti dengan hujan dan banjir, mereka merenung bingung, kapan dan apa yang sebenarnya terjadi. Kajian Antropologi dan sejarah menunjukkan bahwa manusia pertama kali menerangkan gejala-gejala seperti itu pada perbuatan dewa-dewa hantu, setan dan berbagai makhluk halus. Mitologi kuno penuh dengan bermacam dewa dan dewi yang memainkan peranan yang penting dalam kehidupan manusia primitif, seperti kepercayaan bangsa Indian yang menghubungkan sakit, kelaparan dan berbagai bencana dengan makhluk-makhluk halus yang sedang perang.
Ilmu Empiris
Setelah mengikuti kepercayaan animisme dalam tata kehidupan masyarakat primitif maka secara perlahan manusia menyadari bahwa gejala alam dapat diterangkan oleh sebab musabab dari alam, dan ini merupakan suatu langkah penting yang menandai permulaan ilmu sebagai suatu pendekatan sistematis dalam pemecahan masalah. Perkembangan ini dibagi kedalam dua tahap yang saling bertautan; (1) tingkat empiris, dimana ilmu terdiri dari hubungan empiris yang ditemukan dalam berbagai gejala dalam bentuk-bentuk “X menyebabkan Y” tanpa mengetahui mengapa hal ini terjadi. dan (2) tingkat penjelasan (teoritis) yang mengembangkan suatu struktur teoritis yang tidak hanya menerangkan hubungan empiris yang terpisah-pisah, namun juga mengintegrasikannya menjadi suatu pola yang berarti.
a. Pengalaman.
Pada tahap awal Ilmu dimulai dengan suatu observasi, dimana kemudian ditambahkan denga observasi-observasi berikutnya sampai suatu kesamaan atau perbedaan yang dicapai, dalam tahap permulaan ilmu harus berurusan dengan penambahan dan kritik terhadap pengalaman
b. Klasifikasi
Merupakan prosedur yang paling dasar untuk mengubah data terpisah menjadi dasar yang fungsional, suatu prosedur yang pokok bagi semua penelitian karena hal ini merupakan cara yang sederhana dan cermat dalam memahami sejumlah besar data. Klasifikasi harus didasarkan pada suatu tujuan tertentu, kesukaran timbul karena kebanyakan obyek dan gejala mempunyai sifat serta ciri yang banyak, jadi gejala bisa diklasifikasikan dengan berbagai cara.
c. Kuantifikasi.
Tahap yang pertama dalam perkembangan ilmu adalah pengumpulan dan penjelasan pengalaman, dimana kemudian menyebabkan adanya kebutuhan untuk mengkuantifikasikan observasi tersebut, meskipun observasi kualitatif sudah memuaskan dalam tahap-tahap permulaan ilmu, namun hanya kuantifikasi yang dapat memberikan ketelitian yang diperlukan bagi klasifikasi dalam ilmu yang lebih matang.
d. Penemuan Hubungan-hubungan
Melalui berbagai klasifikasi yang berbeda-beda, sering terjadi bahwa kita melihat adanya hubungan fungsional tertentu antara aspek-aspek komponennya, banyak hubungan yang ditemukan merupakan sesuatu yang lebih dari hubungan yang didasarkan pada kenyataan bahwa gejala tersebut muncul secara bersamaan.
e. Perkiraan Kebenaran
Para Ilmuwan pada umumnya menaruh perhatian kepada hubungan yang lebih fundamental daripada hubungan yang hanya tampak pada kulitnya. Suatu peristiwa sering terjadi demikian rumitnya sehingga hubungan-hubungan yang tampak menjadi kabur, disini terlihat dua langkah fundamental dalam perkembangan ilmu : proses perkiraan kebenaran yang terus menerus dan proses pendefinisian kembali masalah ditinjau dari keberhasilan atau kegagalan perkiraan tersebut
Ilmu Teoritis
Tingkat yang paling akhir dari ilmu adalah teoritis, dimana hubungan dan gejala yang ditemukan diterangkan dengan dasar suatu kerangka pemikiran tentang sabab musabab sebagai langkah untuk meramalkan dan menentukan cara untuk mengontrol kegiatan agar hasil yang diharapkan dapat tercapai. Kelebihan tingkat ilmu ini mudah dilihat dengan memperlihatkan keterbatasannnya, karena ilmu empiris ini tidak mudah dipergunakan karena berurusan dengan gejala yang terpisah-pisah, sehingga sukar untuk memahami tiap-tiap gejala itu.
D. AKSIOLOGI ILMU
Ilmu dan Moral
Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban menusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara cepat dan lebih mudah disamping menciptakan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi. Namun dalam kenyataannya apakah ilmu selalu merupakan berkah, terbebas dari kutuk, yang membawa malapetaka dan kesengsaraan?
Sejak dalam tahap pertama pertunbuhan ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk mengusai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan mengusai mereka. Untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan ? Kearah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaan semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuwan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari”, maka timbulah interaksi antara ilmu dengan moral yang berkonotasi metafisik.
Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih dua setengah abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu yang ingin terbatas dari nilai-nilai diluar bidang keilmuan dan ajaran –ajaran diluar bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilai penafsiran metafisik keilmuan.
Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekat menusia untuk menemukan kebenaran. Sejarah kemanusian dihiasi dengan semangat para martir rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang meraka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan Sokrates dipaksa memimun racun dan John Huss dibakar.
Tanggung Jawab Sosial Ilmuan
Seorang ilmuan mempunyai tangung jawab sosial yang terpikul di bahunya. Funginya selaku ilmuan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat di manfaatkan oleh masyarakat.
Pikiran manusia bukan saja dapat dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran namun sekaligus juga dapat dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan hal-hal yang benar. Seorang manusia biasa berdalih untuk menutup-nutupi kesalahannya baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Apalagi bila didukung oleh sarana seperti kakuasaan. Tidak sedikit para ilmuan yang terbius oleh Hitler dengan persepsi Jerman sebagai bangsa Aria, dan kaum Yahudi sebagai pengotor ras Aria.
Bagaimana sikap seorang ilmuan menghadapi cara berpikir yang keliru ini? Seorang ilmuan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti, bukan saja jalan pikirannya mengalir melalui pola-pola yang teratur namun juga segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji dengan teliti. Seorang ilmuan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa suatu pemikiran yang cermat, disinilah kelebihan seorang ilmuan dibandingkan dengan cara berpikir seorang awam.
Nuklir dan Pilihan Moral
Pada tanggal 2 Agustus 1939 Albert Einstein menulis surat kepada Presiden Emerika Serikat Franklin. D. Roosevelt yang memuat rekomendasi mengenai serangkaian kegiatan yang kemudian mengarahkan kepada pembuatan atom. Apakah yang mendorong Einstein merasa berkewajiban untuk memberikan sarana kepada Presisen Roosevelt untuk membikin bom atom? Apakah karena dia anti-Rezim Hitler? Apakah karena dia terpanggil oleh kewajibannya selaku warga Amerika Serikat?
Sekiranya waktu itu Jerman tidak memperhatikan tanda-tanda untuk membuat bom atom, apakah Einstein akan bersedia menulis surat tersebut? Apakah dengan keputusan tersebut Einstein memihak kepada Amerika Serikat selaku seorang warga yang baik? Apakah keputusan Einstein didasarkan kepada nasionalisme dan petriotisme? Jawabannya adalah tidak. Keputusan Einstein bukanlah didasarkan kepada nasionalisme dan petriotisme. Einstein seperti juga ilmuan lain yang berpihak kepada kemanusian yang besar, kemanusian ini tidak mengenal batas geografis, sistem politik atau sistem kemasyarakatan lainnya.
Seorang ilmuan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan itu adalah bangsa sendiri. Sejarah telah mencatat bahwa para ilmuan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahannya menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusian.
Pilihan moral ini kadang-kadang memang getir sebab tidak bersifat hitam atas putih, akibat bom atom di Hirosima dan Nagasaki masih berbekas dalam lembar sejarah kemanusian kita. Kengerian pengalaman Hirosima dan Nagasaki memperlihatkan kepada kita wajah yang lain dari pengetahuan, sehingga diperlukan landasan moral yang kukuh untuk mempergunakan ilmu pengetahuan secara konstruktif.
Revolusi Genetika
Ilmu dalam perspektif sejarah kemanusian mempunyai puncak kecemerlangan masing-masing, namun seperti kotak pandora yang terbuka, kecemerlangan itu sekaligus membawa malapetaka. Kimia merupakan kegemilangan ilmu yang pertama yang dimulai sebagai kegiatan pseudo ilmiah yang bertujuan mencari obat mujarab untuk hidup abadi dan rumus campuran kimia untuk mendapatkan emas. Setelah itu menyusul fisika yang mencapai kulminasi pada teori fisika nuklir, dan sekarang kita diambang kurun genetika dengan awal revolusi di bidang genetika.
Tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan dalam kedua bidang kimia dan fisika membawa manfaat yang banyak untuk kehidupan manusia, namun disamping berkah ini kemajuan ilmu sekaligus membawa kutuk yang berupa malapetaka. Perang dunia I menghadirkan bom kuman sebagai kutukan ilmu kimia dan perang Dunia II memunculkan bom atom sebagai produk fisika, kutukan apa yang mungkin dibawa oleh revousi genetika?
Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan menusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai obyek penelaahan itu sendiri. Namun penelaahan-penelaahan ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik secara langsung manusia sebagai obyek penelaahan, artinya jika kita mengadakan penelaahan mengenai jantung manusia, maka hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan penyakit jantung. Diatas pengetahuan itu dikembangkan teknologi yang berupa alat yang memberikan kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguan-gangguan jantung. Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi obyek penelaahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri, apakah perubahan-perubahan yang dilakukan diatas secara moral dapat dibenarkan?
Jawaban mengenai hal ini harus dikembalikan kepada kakikat ilmu itu sendiri. Ilmu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan kehidupannya, dan kemanusian itu sendiri bersifat otonom dan terlepas dari kajian dan pengaruh ilmiah. Menghadapi nuklir yang sudah merupakan kenyataan maka moral hanya mampu memberikan penilaian yang bersifat eksilogis, bagaimana sebaiknya kita mempergunakan nuklir untuk keluhuran martabat manusia.
E. HUBUNGAN ILMU DENGAN ETIKA DAN HUMANIORA
1. Ilmu
“Ilmu” diartikan sebagai semua pengetahuan yang terhimpun lewat metode-metode keilmuan. Tegasnya pengetahuan yang diperoleh sebagai hasil tahapan siklus/daur dari Induksi (penyimpul rapatan), Deduksi (penyimpul khasan), dan Verifikasi/Validasi (penyahihan), yang terus-menerus berkelanjutan.
2. Ilmu : Piranti Etika dan Abdi Kemanusiaan
Seperti Etika maka Ilmu tak bebas dari tata nilai, Ilmu bebas nilai menggunakan pertimbangan yang didasarkan atas nilai diri yang diwakili oleh ilmu yang bersangkutan. Bebas disini berarti tak terikat secara mutlak, padahal bebas dapat mengandung 2 jenis makna Pertama, kemungkinan memilih; Keduanya, kemampuan atau hak untuk menentukan subyeknya sendiri, disini harus ada penentuan dari dalam dan bukan dari luar.
Menurut Kenneth Building, ahli ekonomi pada Lembaga Ilmu Keprilakuan; Universitas Colorado, menyebutkan “Sebagian yang lumayan bersama dari keberhasilan masyarakat keilmuan dalam memajukan pengetahuan adalah berkat nilainya, yang menempatkan pengabdian yang obyektif terhadap kebenaran dijenjang yang paling luhur, dan kepadanya baik harga diri perseorangan maupun kebanggaan nasional harus ditelurkan.
Kaitan ilmu terhadap nilai-nilai dapat membuat tidak terpisahkan dari etika. “Moral” dapat mengacu kepada bagaimana suatu masyarakat yang berbudaya berperilaku, sedangkan “beretika” dapat mengacu kepada bagaimana seharusnya ia berperilaku. Etika memberikan nasehat-nasehat mengenai perilaku. Biasanya dalam bentuk ungkapan, mutiara-kata, peribahasa dan sebagainya yang menyiratkan, tetapi tidak menyatakan dengan tegas tujuan yang baik dan didambakan yang dicapai menurut nasehat itu dan akibat-akibat yang jelek akan menimpa jika petuah itu dilanggar.
3. Humaniora
Elwood (1975) mendefinisikan: “Humaniora” adalah sebagai seperangkat sikap perilaku moral manusia terhadap sesamanya. Pandangannya mengemukakan bahwa manusia adalah mahluk yang mempunyai kedudukan amumg (unique) di dalam ekosistem, namun sekaligus juga tergantung pada ekosistem itu dan ia sendiri merupakan bagiannya. Humaniora diarahkan yang memperluas hubungannya (horisontal) “terhadap sesamanya” menjadi hubungan trisula atau bercabang tiga, yaitu a). Hubungan manusia dengan Khaliknya, b). Hubungan manusia dengan Sesamanya, dan c). Hubungan manusia dengan alam baik makhluk yang jasad-jasad hidup, maupun benda mati.
4. Kebenaran Ilmu
Kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan, dan diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan tersebut. Kebenaran merupakan suatu hubungan tertentu antara suatu kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih di luar kepercayaan.
Kebenaran intelektual dalam ilmu bukalah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran memang merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Ilmu bukan tujuan tetapi merupakan saran, karena hasrat akan kebenaran itu berimpit dengan etika pelayanan bagi sesama manusia dan tanggung jawab secara agama.
Suatu teori, dan karenanya juga konsep-konsep yang terkandung di dalamnya, akan diterima sebagai “benar atau baik” dalam arti bahwa teori itu berguna dalam menyingkap tabir yang menutupi sesuatu atau beberapa cercah kecil kebenaran-kebenaran hidup yang ada dalam alam, jika ia menyiratkan pernyataan-pernyataan yang ada pada umumnya dapat diuji secara empiris.
KESIMPULAN
Ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan manusia, untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakikat ilmu itu. Mereka yang mendewa-dewakan ilmu sebagai satu-satunya kebenaran biasanya tidak mengetahui hakikat ilmu yang sebenarnya, demikian juga sebaliknya dengan mereka yang memalingkan muka dari ilmu yang tidak mau melihat kenyataan betapa ilmu telah membentuk peradaban seperti yang kita punyai sekarang ini, kemungkinan besar disebabkan juga karena mereka kurang mengenal kakikat ilmu sebenarnya.
Salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi, kaum ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu dan teknologi itu alpha dan omega dari segala-galanya, dan juga pandangan yang mengatakan bahwa Ilmu-Ilmu sosial takkan pernah menjadi Ilmu dalam artian sepenuhya. Dipihak lain Ilmu sosial terus berkembang meskipun tak akan mencapai derajat keilmuan seperti apa yang dicapai ilmu-ilmu alam, rumitnya kajian tentang gejala sosial dari gejala alami membuat kajian sosial sulit untuk ditangkap atau diterangkan oleh ilmu, jika dapat itupun hanyalah sebagai probalistik (kemungkinan ). Demikian juga masih terdapat kebenaran-kebenaran lain disamping kebenaran keilmuan yang melengkapi harkat kemanusian yang hakiki. Berdirinya pilar penyangga keilmuan ini merupakan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan, kita tidak bisa lari daripadanya sebab hal ini merupakan bagian dari hakikat ilmu itu sendiri.
Upaya manusia mendapatkan ilmu diperoleh dari pengetahuan yang didasarkan pada tiga masalah pokok yakni: apa yang ingin diketahui, bagaimanakah cara memperoleh pengetahuan, dan apakah manfaat nilai pengetahuan tersebut?. Dalam kajian epistomologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan, bahan kajian ilmu mencakup semua aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indra manusia yang terjangkau fitrah pengalaman manusia yang disebut empiris.
Pengetahuan adalah suatu sub kelas dari kepercayaan yang benar, bahwa setiap hal mengenai pengetahuan merupakan hal mengenai kepercayaan yang benar tetapi tidak sebaliknya. Ilmu diartikan sebagai semua pengetahuan yang terhimpun lewat metode-metode keilmuan, pengetahuan diperoleh sebagai hasil tahapan siklus / daur dari Induksi (penyimpul rapatan), Deduksi (penyimpul khasan), dan Verifikasi / Validasi (penyahihan).
Aksiologi Ilmu menyangkut bagaimana ilmu itu dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, Ilmu tidak bebas nilai artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malah menimbulkan bencana. Aksiologi ilmu tanpa memegang tanggung jawab moral terhadap ilmu telah menjadikan petaka bagi umat manusia seperti perspektif Hitler tentang teori evolusi Darwin dan petaka akibat kemajuan dibidang fisika nuklir yang melahirkan bom atom pada perang dunia II. Dibalik itu semua terdapat etika yang dapat memberikan nasehat-nasehat mengenai perilaku, dan humaniora memperluas hubungannya antara lain: Hubungan manusia dengan khaliknya, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam.
Wassalam . . .
DAFTAR PUSTAKA
Jujun S. Suriasumantri, (1999), Ilmu Dalam Perpektif; Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Jujun S. Suriasumantri. (2005), Filasafat Ilmu; sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Tersedia: http://id.wikipedia.org. (Online). (4 Desember 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar