.

welcome small

,

Isi Buku Tamu


ShoutMix chat widget

Selasa, 20 Januari 2009

AKSIOLOGI ILMU


A. HAKEKAT ILMU

Dalam kehidupan sehari-hari sejak jaman purbakala manusia selalu berusaha mencari hakekat kebenaran mengenai hal-hal yang bersifat hakiki, seperti masalah Tuhan, kematian, hidup sesudah mati, cinta dan lain-lain. Manusia berusaha mengerti dan menaklukan alam semesta yang penuh dengan misteri. Sampai jaman yang diwarnai dengan kecanggihan teknologi saat ini, perasaan untuk mengerti dan memahami rahasia-rahasia alam semesta termasuk rahasia mengenai dirinya sendiri.
Salah satu hakekat dari manusia adalah berpikir karena melalui proses berpikirlah dia menjadi manusia, berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan.
Pada masa zaman pertengahan, manusia belum menunjukkan minat terhadap studi sistematis mengenai dunia fisik, kondisi tersebut banyak dipengaruhi oleh pendapat filsafat Yunani yang lebih mengutamakan “Yang umum” daripada “Yang khusus”. Pengetahuan yang umum mengacu pada hakekat dan esensi hal-hal yang konkrit, sedang yang khusus membedakan benda satu dengan yang lain.
Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obor dan semen peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peranan dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya, meskipun kelihatannya tampak betapa banyak dan beraneka ragamnya buah pemikiran itu namun pada hakekatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok yakni : Apakah yang ingin kita ketahui? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita?
Pertanyaan itu kelihatannya sederhana namun mencakup permasalahan yang sangat asasi. Berbagai buah pemikiran yang besar sebenarnya merupakan serangkaian jawaban yang diberikan atas ketiga pertanyaan tadi. Pemikiran-pemikiran besar dalam sejarah kebudayaan manusia dapat dicirikan dan dibedakan dari cara mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan manusia. Untuk bisa menghargai ilmu sebagai mana mestinya sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakekat ilmu itu sebenarnya. Seperti kata pepatah perancis “mengerti berarti memaafkan segalanya,” maka pengertian yang mendalam terhadap hakekat ilmu bukan saja akan mengikatkan apresiasi kita terhadap ilmu namun juga membuka mata kita terhadap berbagai kekurangannya.

1. Ilmu dan Falsafah

Istilah falsafah mengandung banyak pengertian, namun untuk tujuan pembahasan kita, falsafah diartikan sebagai suatu cara berfikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berfikir yang mengupas sesuatu sedalam dalamnya. Falsafah menanyakan segala sesuatu dari kegiatan berfikir kita dari awal sampai akhir seperti dinyatakan oleh Socrates, bahwa tugas falsafah yang sebenarnya bukanlah menjawab pertanyaan kita namun mempersoalkan jawaban yang diberikan. Kemajuan manusia dalam berfalsafah bukan saja diukur dari jawaban yang diberikan naum juga dari pertanyaan yang diajukannya.
Lalu apakah hubungan falsafah dengan ilmu? Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai cirri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Ciri-ciri keilmuan ini didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap ketiga pertanyaan pokok seperti telah disebutkan terdahulu.

2. Dasar Ontologi Ilmu

Ontologi ialah hakikat apa yang dikaji atau ilmunya itu sendiri, seorang filosof yang bernama Democritus menerangkan prinsip-prinsip materialisme mengatakan: Hanya berdasarkan kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dingin itu dingin, warna itu warna. Artinya objek penginderaan sering kita anggap nyata, padahal tidak demikian. Hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Istilah “manis, panas dan dingin” itu hanyalah merupakan terminologi yang kita berikan kepada gejala yang ditangkap dengan panca indera.
Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam semesta ini seperti adanya, oleh karena itu manusia dalam menggali ilmu tidak dapat terlepas dari gejala-gejala yang berada didalamnya. Dan sifat ilmu pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam mememecahkan masalah tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dari kehidupan ini. Sekalipun demikian sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi. Sebagai contoh, bagaimana kita mendefinisikan manusia, maka berbagai penegertianpun akan muncul pula contoh: Siapakah manusia iu ? jawab ilmu ekonomi ialah makhluk ekonomi, sedang ilmu politik akan menjawab bahwa manusia ialah political animal dan dunia pendidikan akan mengatakan manusia ialah homo educandum.
Berlainan dengan agama, atau bentuk-bentuk pengetahuan lainnya, maka ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat empiris. Objek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Dalam batas-batas tersebut maka ilmu mempelajari objek-objek empiris seperti batu-batuan, binatang, tumbuh-tumbuhan, hewan atau manusia itu sendiri. Ilmu mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan objek yang ditelaahnya, maka ilmu dapat disebut sebagai suatu ilmu pengetahuan empiris, dimana obyek-obyek yang berbeda diluar jangkauan manusia tidak termasuk kedalam bidang penelaahan keilmuan tersebut. Inilah yang merupakan salah satu ciri ilmu yakni orientasi terhadap dunia empiris.
Secara lebih terinci ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai obyek empiris. Asumsi pertama menganggap obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Asumsi yang kedua adalah anggapan bahwa suatu bentuk tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Determinisme merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urut-urutan kejadian yang sama.

3. Dasar Epistemologi Ilmu

Yang dimaksud dengan epistimologi ialah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mendapatkan pengetahuan ialah :
1. Batasan kajian ilmu : secara ontologis ilmu membatasi pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup manusia dan tidak dapat mengkaji daerah yang bersifat transcendental.
2. Cara menyusun pengetahuan: untuk mendapatkan pengetahuan menjadi ilmu diperlukan cara untuk menyusunnya yaitu dengan cara menggunakan metode ilmiah.
3. Diperlukan landasan yang sesuai dengan ontologis dan aksiologis ilmu itu sendiri
Epistemologi, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan kebahagiaan dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu juga dapat disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” ( science ) dan “pengetahuan” ( knowledge ), maka kita mempergunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan”.

4. Metode Keilmuan

Ditinjau dari segi perkembangannya, seperti juga semua unsur kebudayaan manusia, ilmu merupakan gabungan dari cara-cara menusia sebelumnya dalam mencari pengetahuan. Pada dasarnya ditinjau dari sejarah berfikir manusia, terdapat dua pola dalam memperoleh pengetahuan. Yang pertama adalah berpikir secara rasional, dimana berdasarkan paham rasionalisme ini ide tentang kebenaran sebenarnya sudah ada. Yang kedua muncul suatu pola berpikir lain, yang merupakan cara yang sama sekali berlawanan dengan rasionalisme, yang dikenal dengan nama empirisme.
Pendekatan rasional dan empiris membentuk dua kutub yang bertentangan, yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, maka timbul gagasan untuk menggabungkan kedua pendekatan ini untuk menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam menemukan pengetahuan yang benar, gabungan keduanya disebut metode keilmuan.

5. Dasar Axiologi Ilmu

Apakah kegunaan ilmu itu bagi kita? Ilmu itu telah banyak mengubah dunia dalam pemberantasan penyakit, kelaparan, kemiskinan, kekeringan dan lain-lain. Namun apakah hal itu selalu demikian: ilmu selalu merupakan berkat dan penyelamat bagi manusia? Memang dengan mempelajari atom kita bisa memanfaatkan ujud tersebut sebagai sumber energi bagi keselamatan manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya yakni malapetaka. Usaha memerangi kuman yang membunuh manusia sekaligus menghasilkan senjata kuman yang dipakai sebagai alat untuk membunuh sesama manusia pula.

B. PERBEDAAN ANTARA ILMU-ILMU ALAM DAN ILMU-ILMU SOSIAL
( SUATU PEMBAHASAN )

Selama bertahun-tahun, ilmu-ilmu sosial telah menjadi arena bagi sejumlah kritik: kritik yang dikemukakan adalah bermacam-macam, mulai dari keraguan tentang kegiatan ahli ilmu-ilmu sosial karena ”ilmu-ilmu sosial adalah tidak mungkin” sampai kepada rasa ngeri terhadap kegiatan ahli ilmu-ilmu sosial, terlalu banyak pengetahuan sosial akan membahayakan kebebasan manusia, argumentasi dari mereka ini berpendapat bahwa gejala sosial adalah terlalu rumit untuk diselidiki secara keilmuan, jika memang ada paling jauh hanya berupa ”semata-mata kemungkinan probabilistik”. Orang menganggap kegagalan ahli ilmu-ilmu sosial menerapkan hukum yang non probabilistik adalah disebabkan oleh rumitnya gejala yang harus dihadapinya, kritik ini sukar untuk dinilai karena kritikus yang melontarkannya mempunyai pendapat yang berbeda-beda.
Kritikus menyerang rumitnya ” gejala sosial “ sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa ilmu sosial adalah tidak mungkin (probality) disebabkan rumitnya semua gejala. Prilaku manusia terlalu komplek ”untuk ditangkap” atau diterangkan oleh ilmu, namun kritikan ini juga termasuk di dalamnya bidang-bidang yang bukan sosial, seperti permainan cahaya dan bayang-bayang ditengah padang rumput pada suatu petang yang redup, mengalirnya secara perlahan suatu anak sungai – pada kenyataanya mencakup semua gejala fisika dan biologi. Ternyata argumen mengenai ketidak mungkinan ilmu sosial itu ditinjau dari segi deskripsi yang kasar, keunikan obyek, abstraksi, pemutarbalikan penelaahan keilmuan dan ketidakmampuan uantuk menangkap kenyataan, semuanya didasarkan pada anggapan salah tentang hakekat ilmu

Kesalahan tentang Hakekat Ilmu

Kesalahan tentang hakekat ilmu dimulai dengan salah pengertian mengenai apa yang dinamakan ilmu dan apa yang dikerjakannya, kesalahan dalam menjawab pertanyaan ini demikian asasi, dimana terdapat anggapan bahwa fungsi ilmu adalah mereproduksikan kenyataan oleh sebab itu maka ilmu yang tidak berhasil melakukannya adalah ilmu yang gagal. Pada hakekatnya kesalahan itu terletak pada kekacauan antara sebuah deskripsi dengan apa yang dideskripsikan. Albert Einstein pernah mengemukakan bahwa bukanlah fungsi ilmu untuk ”memberikan rasa lezat semangkuk sup”. Jika kita mengkaji dalam pernyataan keilmuan, maka deskripsi ilmu mendudukkan kita pada sebuah posisi yang memungkinkan kita mampu untuk mengecap rasa sup.
Suatu kekacauan lain adalah tentang sifat dan fungsi dari ilmu, dimana terdapat anggapan bahwa fungsi ilmu bukan saja untuk memproduksikan alam secara harfiah, namun juga bahwa pernyataan keilmuan harus membawa sensasi, reaksi atau tanggap terhadap rangsangan yang betul-betul sama, atau hampir sama, atau dengan perkataan lain memberikan pengalaman yang sama.
Jadi dasar tuduhan bahwa ”kenyataan adalah terlalu rumit untuk ditangkap” adalah terletak pada kekacauan tentang pernyataan pernyataan keilmuan dalam hubungannya dengan apa yang dideskripsikan dalam dunia sebenarnya, oleh sebab itu maka tuduhan ini tidak dapat diterima, dan merupakan suatu kesalahan yang asasi yang disebabkan oleh salah pengertian tentang hakekat dan fungsi pernyataan keilmuan.

Tuduhan Terhadap Ilmu-Ilmu Sosial

Tidak semua argumentasi tentang kerumitan ” gejala sosial ” yang menyebabkan ketidak mungkinan ilmu-ilmu sosial (atau suatu ilmu sosial yang metodologinya adalah sama dengan ilmu-ilmu-ilmu yang lainnya) berdasarkan anggapan diatas. Rangkaian argumentasi yang lain didasarkan pada tuduhan bahwa metode keilmuan tidak mampu untuk menangkap ”keunikan” gejala sosial dan manusiawi. Karena penelaah-penelaah sosial tertarik kepada keunikan tiap-tiap kejadian sosial, padahal metode keilmuan hanya mampu mensistematikan berdasarkan generalisasi, maka keadaan ini menyebabkan harus diterapkannya metode yang lain dalam ilmu-ilmu sosial. Dalam pengertian ini setiap gejala fisik ” sama uniknya ” seperti setiap gejala atau bentuk sosial, selaras dengan ini maka argumentasi berdasarkan pengertian keunikan ini tidak mendukung sama sekali suatu pandangan bahwa harus terdapat perceraian yang radikal antara metodologi ilmu-ilmu sosial dan non sosial.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar